Menemani seorang sahabat seharian di laboratorium yang sama sekali asing bagi saya. Betapa tidak, lab yang biasa saya kenal biasanya berisi preparat, biakan, apusan, potongan atau bagian tubuh manusia, bahkan manusia itu sendiri (mayat). Saya bergelut di bidang kesehatan, sementara teman saya ini di bidang pangan. Tak heran jika lab tempat sahabat saya bergelung seharian ini berisi bawang merah, kopi, beras, jagung dan aneka bahan pangan lain. Tidak ada yang spektakuler memang, hanya saja itu merupakan hal baru bagi saya. Melihatnya dengan cermat dan sabar memblender dan menakar beras--yang bagi saya, beras ya beras, dan saya cenderung menyamaratakannya ketika saya hendak membelinya. Hal yang membuat beras-beras berbeda bagi saya adalah harganya yang tertera di toko-toko kelontong, yang otomatis mendorong saya jadi lebih memerhatikan warna, kebersihan, dan bentuknya. Ternyata memang beda. Sementara di lab ini, beras diperlakukan layaknya intan, disayang-sayang, diberi berbagai perlakuan, menjadi sumber pengetahuan.
Pernah sekali waktu saya duduk di bangku kelas S2 seni rupa, memperbincangkan muluk tentang keterkaitan seni dan agama. Dari berbagai teori dan pendekatan, dengan bahasa-bahasa tinggi serta argumen-argumen ilmiah pesertanya. Saya melihat dosen pemberi mata kuliah tersebut juga sangat berhati-hati dalam memilih kata penyusun kalimat-kalimatnya (apalagi yang bersinggungan dengan SARA). Beliau tentu lebih paham dan ahli dalam merespon dan membersamai peserta didiknya yang sangat beragam latar belakang. Hal yang bisa saya simpulkan dari kuliah yang menguras perhatian saya untuk mencerna bahasanya itu adalah kemanusiaan. Ya, simpelnya sih akhlak kalau dalam ilmu agama Islam.
Di lain waktu, saya duduk dalam forum yang membahas tentang sumber daya. Banyak bahasa-bahasa yang saya lebih tidak mengerti. Sumber daya alam di Indonesia ternyata tidak kalah ribetnya dari masalah kesehatan. Banyak juga kongkalikong di belakangnya. Para pemberi materi berusaha memaparkan betapa banyak kerugian yang ditimbulkan dari ulah oknum-oknum tersebut. Siapa yang dirugikan? Pemerintah? Ah, rasa-rasanya kok bukan, kalau yang disebut sebagai pemerintah itu adalah orang-orang yang juga bermain di belakangnya. Lantas siapa? Jelas rakyat. Tapi sudahlah, kita tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Di tempat lain, seorang punggawa pesantren mahasiswa berjibaku dengan konsep pemolesan mental dan cara pandang santri-santrinya. Berusaha membaguskan manusia dari basic. Konsep ini itu yang dirasa sesuai dengan model mahasiswa jaman sekarang yang terlalu dinamis. Luar biasa! Kalau mereka sudah rapat dan berbincang, bisa semalam suntuk hanya untuk sebuah acara yang tampaknya sederhana, tapi ternyata sarat akan ilmu. Para santri sendiri tak akan sadar bahwa secara perlahan mental dan akhlak mereka yang tadinya seperti jalan berlubang dan berbatu, kini kian menyerupai jalan aspal.
Sebenarnya, yang ingin saya kemukakan adalah betapa manusia hidup hanya dalam kotaknya. Kotak yang diciptakan dan dipilihnya sendiri. Ada banyak hal yang tidak mampu kita urus dan atasi sendiri. Beragam perkara hidup telah digawangi oleh orang-orang di luar kita. Betapa banyak kotak dengan rupa-rupa dan jenis yang tidak kita ketahui telah berkontribusi pada keseimbangan hidup kita. Semakin membuka jendela kotak kita lebar-lebar, maka akan semakin banyak peluang persinggungan kita dengan kota-kotak lain yang membuat kita semakin banyak berterima kasih pada Tuhan yang telah menjadikan beragam kotak-kotak itu. Memaksimalkan potensi yang kita miliki-saya rasa-merupaka salah satu wujud syukur kita padaNya.