Sabtu, 26 September 2015

Rupa-Rupa Kotak

        Menemani seorang sahabat seharian di laboratorium yang sama sekali asing bagi saya. Betapa tidak, lab yang biasa saya kenal biasanya berisi preparat, biakan, apusan, potongan atau bagian tubuh manusia, bahkan manusia itu sendiri (mayat). Saya bergelut di bidang kesehatan, sementara teman saya ini di bidang pangan. Tak heran jika lab tempat sahabat saya bergelung seharian ini berisi bawang merah, kopi, beras, jagung dan aneka bahan pangan lain. Tidak ada yang spektakuler memang, hanya saja itu merupakan hal baru bagi saya. Melihatnya dengan cermat dan sabar memblender dan menakar beras--yang bagi saya, beras ya beras, dan saya cenderung menyamaratakannya ketika saya hendak membelinya. Hal yang membuat beras-beras berbeda bagi saya adalah harganya yang tertera di toko-toko kelontong, yang otomatis mendorong saya jadi lebih memerhatikan warna, kebersihan, dan bentuknya. Ternyata memang beda. Sementara di lab ini, beras diperlakukan layaknya intan, disayang-sayang, diberi berbagai perlakuan, menjadi sumber pengetahuan.

        Pernah sekali waktu saya duduk di bangku kelas S2 seni rupa, memperbincangkan muluk tentang keterkaitan seni dan agama. Dari berbagai teori dan pendekatan, dengan bahasa-bahasa tinggi serta argumen-argumen ilmiah pesertanya. Saya melihat dosen pemberi mata kuliah tersebut juga sangat berhati-hati dalam memilih kata penyusun kalimat-kalimatnya (apalagi yang bersinggungan dengan SARA). Beliau tentu lebih paham dan ahli dalam merespon dan membersamai peserta didiknya yang sangat beragam latar belakang. Hal yang bisa saya simpulkan dari kuliah yang menguras perhatian saya untuk mencerna bahasanya itu adalah kemanusiaan. Ya, simpelnya sih akhlak kalau dalam ilmu agama Islam.

        Di lain waktu, saya duduk dalam forum yang membahas tentang sumber daya. Banyak bahasa-bahasa yang saya lebih tidak mengerti. Sumber daya alam di Indonesia ternyata tidak kalah ribetnya dari masalah kesehatan. Banyak juga kongkalikong di belakangnya. Para pemberi materi berusaha memaparkan betapa banyak kerugian yang ditimbulkan dari ulah oknum-oknum tersebut. Siapa yang dirugikan? Pemerintah? Ah, rasa-rasanya kok bukan, kalau yang disebut sebagai pemerintah itu adalah orang-orang yang juga bermain di belakangnya. Lantas siapa? Jelas rakyat. Tapi sudahlah, kita tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.

        Di tempat lain, seorang punggawa pesantren mahasiswa berjibaku dengan konsep pemolesan mental dan cara pandang santri-santrinya. Berusaha membaguskan manusia dari basic. Konsep ini itu yang dirasa sesuai dengan model mahasiswa jaman sekarang yang terlalu dinamis. Luar biasa! Kalau mereka sudah rapat dan berbincang, bisa semalam suntuk hanya untuk sebuah acara yang tampaknya sederhana, tapi ternyata sarat akan ilmu. Para santri sendiri tak akan sadar bahwa secara perlahan mental dan akhlak mereka yang tadinya seperti jalan berlubang dan berbatu, kini kian menyerupai jalan aspal.

        Sebenarnya, yang ingin saya kemukakan adalah betapa manusia hidup hanya dalam kotaknya. Kotak yang diciptakan dan dipilihnya sendiri. Ada banyak hal yang tidak mampu kita urus dan atasi sendiri. Beragam perkara hidup telah digawangi oleh orang-orang di luar kita. Betapa banyak kotak dengan rupa-rupa dan jenis yang tidak kita ketahui telah berkontribusi pada keseimbangan hidup kita. Semakin membuka jendela kotak kita lebar-lebar, maka akan semakin banyak peluang persinggungan kita dengan kota-kotak lain yang membuat kita semakin banyak berterima kasih pada Tuhan yang telah menjadikan beragam kotak-kotak itu. Memaksimalkan potensi yang kita miliki-saya rasa-merupaka salah satu wujud syukur kita padaNya.

Kamis, 24 September 2015

Manusia Urip, Arep, Urap, Urup

        Sedikit menjelaskan tentang alasan saya menggunakan istilah 'Urip, Arep, Urap, Urup' sebagai judul blog ini. Istilah tersebut saya dapatkan dalam buku berjudul Markesot Bertutur karangan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Markesot adalah tokoh fiktif yang digambarkan memiliki jiwa yang luas dan dalam. Kritis dan arif dalam menyikapi berbagai problema kehidupan. Menjadi keranjang sampah, menerima luapan keluh kesah, sekaligus mendidik moral orang-orang di sekitarnya. Di sini, kita akan coba mengulas lagi arti dan makna dari judul blog tersebut.

       Urip dalam bahasa Indonesia berarti hidup. Ya, hidup yang kita kenal sekarang. Hidup di dunia, bernafas, butuh makan, butuh teman, dan lain sebagainya. Arep berarti mau. Manusia itu selalu punya kemauan dan kehendak. Mau sukses, mau kaya, mau dapat nilai bagus, mau pasangan yang cantik, tampan, mau jabatan, mau kekuasaan, dan masih banyak mau mau lainnya yang tak perlu disebutkan secara panjang lebar di sini. Intinya semua kemauan itu adalah ego dan nafsu. Nafsu manusia akan dunia yang begitu menyilaukan.

        Selanjutnya adalah urap. Urap adalah makanan yang terdiri dari berbagai macam rebusan sayur yang dicampur dan ditambahkan sambal kelapa. Urap merupakan analogi kehidupan. Dalam hidup, kita akan bertemu, bercampur, bergesekan, berinteraksi dengan berbagai jenis manusia. Berjodoh dengan berbagai macam takdir kehidupan. Berkreasi dalam mengolah rasa menanggapi itu semua. Kita akan lancar menghadapi urap manakala kita telah bisa menakhlukkan arep yang ada pada diri kita. Semakin cerdas kita memanajemen arep atau ego kita, semakin bijak kita dalam menghadapi urap. Nah, ketika kita beres dengan urusan urip, arep dan urap, saatnya kita beralih pada urup.

        Urup berarti nyala. Menyalakan hati kita untuk melihat cahayaNya. Mengganti segala orientasi hidup kita akan dunia menjadi orientasi akhirat. Menyalakan kesadaran akan singkatnya hidup dan adanya pertanggugjawaban atas polah tingkah kita. Sadar betul bahwa tujuan pengembaraan hidup ini hanya untuk pulang. Pulang pada Sang Pemilik Hidup, pencipta segala macam rasa dan rupa, tempat menggantungkan segala macam urusan dan perkara. Ialah Allah, Sang Maha. Terminal akhir akan perjalanan (yang tampaknya) panjang bagi kita.

        Nah, seperti judulnya, InsyaAllah nantinya blog ini akan berisi berbagai macam tulisan . Mulai dari perkara hidup 'secuil tempe' hingga suatu hal yang otak saya sendiri tak bisa membayangkannya. Saya tidak ingin terlalu mengklasifikasikan dan mengategorikan blog ini sebagai sesuatu. Karena anda dan saya adalah makhluk multidimensi.

Rupa-Rupa Kotak

          Menemani seorang sahabat seharian di laboratorium yang sama sekali asing bagi saya. Betapa tidak, lab yang biasa saya kenal biasa...